Serat Pararaton, atau
Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab
naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi.
Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri
dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka
Raja", yang dalam Bahasa Sansekerta juga berarti "kitab raja-raja".
Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton. Di
akhir kisah Pararaton penulisnya hanya menulis nama desa dan catatan
waktu ketika pengarangnya menyelesaikan tulisannya yakni 1535 Saka atau
tepatnya 3 Agustus 1613. bila menengok tanggal i Pararaton ditulis
sejaman dengan berkuasanya Sultan Agung di Jawa
Pararaton
diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri
kerajaan Singhasari (1222–1292). Selanjutnya hampir setengah kitab
membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia
menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini
cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan
bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis.
Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati
bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan
bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga
kerajaan Majapahit.
Penekanan
atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya
cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam
naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau
"Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh
yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka
(atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah
telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar
lebih Kitabmendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
Pararaton
dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok
mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja.
Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa
Samsekerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk
mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok
mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat
kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.
Janji
tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui
seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas
sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang
memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang
kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan
membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok
kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam
naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari
kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di
Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru
menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan
membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan
Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken
Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk
memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian
menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa
Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul
Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta
atas kerajaan Singhasari.
Analisa naskah
Beberapa
bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah.
Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan
kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya C.C. Berg berpendapat
bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris,
serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk
menentukan kejadian-kejadian di masa depan. Meskipun demikian sebagian
besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari
Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada
inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima
lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid
dapat ditemukan.
Haruslah
dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan
masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja
untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan
menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan
kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci
dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap
mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu
dinasri) dianggap memiliki derajat kedewaan, dimana kedudukannya jauh
lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan
Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti
Śivagŗha (Siwagrha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Ranah Jawi
(1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas
dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta
kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu.
Sejak
akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan
keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah
kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton
ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman
Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja
Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang
membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan
menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang
rekonstruksi sejarah Majapahit belumlah tuntas.
Penafsiran
data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni
Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung
Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga
Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad
sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa,
yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’. Pusat kerajaan Majapahit
(di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan
(mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu
Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan.
Sebagaimana
pernah dikemukakan oleh Dr.Boechari, “While the kingdom is compared
with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on
earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature”
(MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala,
Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga
kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja
Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi
wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai
dalam prasasti-prasasti.
Isi Kitab Pararaton/ Kitab Para Datu
Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam, Semoga tak ada halangan, Sudjudku sesempurna sempurnanya.
Pararaton bagian 1
Demikian
inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah
seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus - mutus
tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib;
pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak.
Nama
yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat
pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh
pintu. Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya
ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa, kalau sampai terjadi aku
membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan
korban kambing merah itu."
Kemudian
orang yang memutus mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup
mejadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan
korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga
dewa Wisnu dan menjelma lagi didalam kelahiran mulia, ke alam tengah
lagi, demikianlah permintaannya.
Demikianlah
ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma,
disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah
mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia
terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan
korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma
melihat lihat siapa akan dijadikan temanya bersepasang. Sesudah demikian
itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki
bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok
tanam.
Ken
Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si Gadjahpara; nama
sawah tempat ia: mengirim : Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur. Dewa
Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua
ini terdjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada
isteri itu: "Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu
dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama
anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa".
Dewa Brahma lalu menghilang.
Ken
Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: "Kakak
Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani didalam pertemuan oleh
Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku:
jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa
tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu. Lalu pulanglah
Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani
didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. "Wahai,
kakak Gajahpara putuslah perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada
perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak
lagi."
Kata
Gadjahpara: "Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak
berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta
benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, adik, harta benda milikku
kembali pula kepadaku lagi". Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di
seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di
seberang selatan.
Belum
genap sepekan kemudian matilah Gajahpara. Kata orang yang
mempercakapkan: "Luar biasa panas anak didalam kandungan itu, belum
seberapa lama perceraian orang tua laki laki perempuan sudah diikuti,
orang tua laki laki segera meninggal dunia". Akhirnja sesudah genap
bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak
kanak oleh Ken Endok.
Selanjutnya
ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak anak
itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak
menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu
anak yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang diaku anak
oleh Lembong. Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak,
teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang
didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam
hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri.
Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak
yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika kakak ingin tahu
riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan tuan
tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua
berayah satu, demikian persamaannya." Lembong beserta keluarganya
semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar,
dibawa pergi mencuri oleh Lembong.
Setelah
mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal
di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong,
habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala
pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama
kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi
harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok sekarang
dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan, kedua duanya: "Nah
buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi
saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada
yang dipertuan di Lebak".
Akhirnya
tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya ditinggalkan di
Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di
Kapundungan; Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak
menaruh belas kasihan.
Ada
seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman, bernama Bango
Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di Karuman,
ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman,
berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa,
disuruh pulang ke Karuman lagi. "Kami mempunyai anak yang akan dapat
menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok." Pergilah Bango Samparan
dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang
anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah
itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango
Samparan.
Dia
itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan
dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan,
memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok
dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang
bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri
mudanja. Adapun nama anak anaknya dari isteri muda, yalah Panji Bawuk,
anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung,
bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil
anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati
dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman.
Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak tuwan
Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia
bersahabat karib dengan Ken Angrok. Tuwan
Tita
dan Ken Angrok sangat cinta mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertermpat
tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan
Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke
seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar
sastera.
Mereka
diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan
pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua
perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah
bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga,
hari dua, hari sembilan, nama nama minggu.
Ken
Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai diajar pengetahuan oleh Guru.
Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang
ditanamnya sendiri. Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang
musimnya, dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang
berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu,
petiklah". Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat
dikenang kenangkan buah jambu tadi.
Setelah
malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak nyenyaknya, Ken Angrok
tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun ubun Ken Angrok, berbondong
bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah jambu sang guru.
Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil
oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di
halaman itu, maka rnendjadi susah. Kata guru kepada murid murid: "Apakah
sebabnya maka jambu itu rusak." Menjawablah pengiring guru: "Tuanku
rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu".
kemudian
guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam
malaman Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat
tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong
bondong, keluar dari ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu
guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar
yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir
oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya. Ken
Angrok terperanjat, bangun terhuyung huyung, lalu keluar, pergi tidur di
tempat ilalang di luar.
Ketika guru menengoknya keluar, ia
melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira
kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok,
ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi,
menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi paginya ia
disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang. katanya :
"Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada
guru."
Lama
kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan
Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang
Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di
jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di
hutan orang Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut
serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam
pertemuan didalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin
berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui
jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok
berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa
daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung.
Pararaton bagian 2
Pergilah
Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat. Rabut
Gorontol. "Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan
saya" kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga
terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa." Ia pergi dari Rabut
Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala. Ada seorang
pemikat burung pitpit, ia memperkosa orang yang sedang rnemanggil
manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran,
melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi
ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat
tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak
Uget. Lamalah ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang
rnelalui jalan.
Ia
lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia,
dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon
tal, di tepi sungai, setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat
pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan
canang, Pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang
hi menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya,
akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal,
untuk didjadikan sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke
seberang timur, mustahil ia akan mati, lalu ia memotong daun tal
mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri kanan, ia melayang
keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar,
mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi
ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya
sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang
dipertuan itu.
Anak
yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang,
kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal 1ima
orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah
yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan
kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi
kemari." meanjawablah penguasa daerah itu: "Tuan tuan, kami tidak
sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang
sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih
dari enam orang tentu ada orang lain disini"
Kata
orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak penguasa daerah enam
orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Segera pergilah
yang mengejar. Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: "Pergilah kamu,
buyung, jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang
membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku,
pergilah mengungsi ke hutan". Maka kata ken Angrok: "Semoga berhenti
lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di
dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu.
Selanjutnya
ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh. Adalah
seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak
tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk
ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu
kepala Lingkungan itu, dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan
diatas onggokan; sangat asyiklah kepala Lingkungan itu, selalu membajak
ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken
Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian itu, kepala Lingkungan
bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya,
kata kepala Lingkungan: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang".
Sekarang
nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai,
dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian
Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil
nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, buyung, yang
nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu," Ken Angrok menjawab:
"Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak
gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan.."
Kata kepala Lingkungan: "Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu
lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari
mengharap ada tamu datang" lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat
tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata
kepala lingkungan kepada isterinya: "Nini batari, saya berpesan
kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah
juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia"
diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ
menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet.
Ada
seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon,
bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa
tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat
barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya, sungguh ia telah
sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban
seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan
pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan
perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang
lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. Kata ken
Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini," Kata
Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan
pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang
yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok".
Tersenyumlah
Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan,
anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan
orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke
Turyantapada, jangan khawatir." Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang
budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada,
Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas
pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot,
selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama
Turyantapada dinamakan daerah Bapa.
Demikianlah Ken Angrok
mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot
itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh
menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua
di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak
kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak
dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok lalu marah
: "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini,"
Ken
Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di
Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua,
para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul
perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan
perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya
untuk membunuh Ken Angrok. Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan
kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih
jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikan1ah suara dari angkasa,
terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti
sedia kala.
Ken
Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur
Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas". Ken
Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah
lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok
pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua
di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken
Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah
lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di
Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering.
Gadis ini lalu
ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang
menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran
benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang ke
daerah Bapa lagi. Kata ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya
akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota
Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di
Turyantapada, dan Daha, Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia
dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung
Pustaka. Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di
Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok
itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung
Panitikan.
Kepadanya
turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo
Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; Demikian
ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu
menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya
akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah."
Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Angrok lari menuju ke
Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke
tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan
semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan.
Lalu
berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat,
taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan
cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya,
berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang
rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya." Demikianlah kata para
dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi
raja di pulau Jawa," demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah
dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia
yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa." Kini
keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua
dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu
pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah.
Diberi
petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang
bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh
menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur
Kawi. Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak
rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke
daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata
Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui
lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken
Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa
Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: "Wahai Dang
Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada
disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti
aku di tempat perjudian."
Tak
lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati
dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang
Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai.
Kata
Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun
sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku
memuja". Menjawablah Ken Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken
Angrok." Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu
saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana
saja kamu pergi." Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut
pula brahmana itu.
etelah
ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin
menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul
Ametung. Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata
Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan,
saya baru kali ini melihat tuan." Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan
Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin
menghamba kepada sang akuwu". Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah,
senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan
tenteram pada anaknda ini". Demikianlah kata Tunggul Ametung.Lamalah Ken
Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di
Tumapel itu,
Kemudian
adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana,
bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai
seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta
Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken
Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya
itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung
mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu
Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat
gads cantik itu. Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang
Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung.
Setelah
Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah
dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya,
maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang
melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk
keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen
ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak
keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa
anakku dilarikan orang dengan paksaan.
Demikian
kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya
terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan
kebahagiaan besar." Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen.
Setelah
datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung,
Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes
menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang
senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji; Ken Dedes
turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap
betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken
Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang
sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken
Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat.
Setelah
Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu
kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang
perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah
demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu". Dang Hyang menjawab: "
Siapa itu, buyung". Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang
perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba". Kata Dang Hyang: "Jika
ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari,
ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika
memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja." Ke Angrok diam,
akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya
itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan
bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan
mengijinkan."
Jawab
Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya
saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang
pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri." Kata Ken Angrok: "Jika
demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan." Sang Brahmana menjawab:
"Akan kemana kamu buyung?" Ken Angrok menjawab: " Hamba pergi ke
Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama
Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai
pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya." Kata Dang Hyang: "Baiklah
kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung."
Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana." Ken Angrok pergi
dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu
ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian
saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."
Ken
Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang
akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri
akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh
hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang
Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya:
"Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu." Kata Sang
Brahmana: "Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh
baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat
menjadi maharaja." Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung
akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda
menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang, Kata Dang Hyang:
"Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada
orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu
sendiri." Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin
kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu
mati oleh hamba."
Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau
demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada
Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung
Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris
yang kurang bertuah.Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di
Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang
sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah
kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai
dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia."
Demikian
pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok: "Hamba memohon
di.0ri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang." Ia pergi dari Karuman, lalu ke
Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat
keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali yang
bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang
dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus
hamba lakukan." Kata Mpu Gandring: "Jangan lima bulan itu, kalau kamu
menginginkan yang baik, kira – kira setahun baru selesai, akan baik dan
matang tempaannya," Ken Angrok berkata: "Nah, biar bagaimana
mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai didalam lima bulan." Ken
Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang
Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok:
"Apakah sebabnya kamu lama
di Tumapel itu." Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada
perjanjiannya, bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring.
Pergilah
ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan
memotong motong keris pesanan Ken Angrok. Kata Ken Angrok: "Manakah
pesanan hamba kepada tuan Gandring." Menjawablah Gandring itu: "Yang
sedang saya asah ini, buyung Angrok." Keris diminta untuk dilihat oleh
Ken Angrok. Katanya dengan agak marah: "Ah tak ada gunanya aku menyuruh
kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini,
memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu."
Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring
keris buatan Gandring itu. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air
asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa,
juga ini berbelah menjadi dua.
Kini
Gandring berkata: "Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu,
anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati
karena keris itu." Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal.
Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata
Ken Angrok: "Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga
kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang." Lalu pulanglah Ken Angrok
ke Tumapel.
Ada
seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo, bersahabat dengan
Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken
Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum
diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata
kepada Ken Angrok: " Wahai kakak, saya pinjam keris itu." Diberikan
oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai
melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak
orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru
dipinggangnya.
Tak
lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh
yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi
kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur,
kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul
Ametung, tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh
Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga.
Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja.
Sekarang
sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul Ametung diamat
amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris Kebo Hijo
yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua:
"Terangnya
Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara rahasia,
karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di
Tumapel.Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk
dengan keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo.
Kebo
Hijo mempunyai seorang anak, bernama Mahisa Randi, sedih karena ayahnya
meninggal, Ken Angrok menaruh belas kasihan kepadanya, kemana mana anak
ini dibawa, karena Ken Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap
Mahisa Randi. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken
Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah
mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani
membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga
Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya
Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes.
Pada
waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah mengandung tiga
bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken Dedes sangat
cinta mencintai. Telah lama perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken
Dedes melahirkan seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul
Ametung, diberi nama Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya
Sang Apanji Anengah.
Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken
Dedes itu, maka Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki,
bernama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang
Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik
Agnibaya perempuan bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes
mempunyai empat orang anak.
Ken
Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan anak laki
laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola,
adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi.Banyaknya anak semua ada 9
orang, laki laki 7 orang, perempuan 2 orang.Sudah dikuasailah sebelah
timur Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut
terhadap Ken Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk
menjadi raja, orang orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok menjadi
raja itu.
Kebetulan disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah
raja Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang berada di
seluruh wilayah Daha, katanya: "Wahai, tuan tuan bujangga pemeluk agama
Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak menyembah kepada
kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru." Menjawablah para
bujangga di seluruh daerah negara Daha: "Tuanku, semenjak jaman dahulu
kala tak ada bujangga yang menyembah raja." demikianlah kata bujangga
semua. Kata Raja Dandhang Gendis: "Nah, jika semenjak dahulu kala tak
ada yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika
tuan tuan tidak tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya."
Kini
Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan
kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: "Nah, tuan tuan
bujangga, lihatlah kesaktian kami." Ia tampak berlengan empat, bermata
tiga, semata mata Batara Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh
daerah Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau, bahkan
menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada Ken
Angrok.
Itulah
asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha. Tak lama sesudah itu Ken
Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya bernama Singasari,
nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para
bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama
Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka
yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang
menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi belas balasan
atas budi jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan
tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi
Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang
itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung
cangkulnya.
Adapun
anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring.Anak laki laki
Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari ibu pemeluk
agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama Cucu
Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat berhasillah
negara Singasari, sempurna tak ada halangan. Telah lama terdengar
berita, bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja, diberitahulah raja Dandhang
Gendis, bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha.
Kata
Raja Dandhang Gendis: "Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini,
barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin
baru kalah." Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis
berkata demikian.Kata Sang Amurwabumi: "Wahai, para bujangga pemeluk
Siwa dan Budha, restuilah kami mengambil nama nobatan Batara Guru."
Demikianlah asal mulanya ia bernama nobatan Batara Guru, direstui oleh
bujangga brahmana dan resi.
Selanjutnya
ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar, bahwa
Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha, Dandhang Gendis
berkata: "Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa."
Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang
disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh membunuh,
terdesaklah tentara Daha. Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai
pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan menterinya
yang perwira, bernama Gubar Baleman.
Adapun
sebabnya itu gugur, karena diserang bersama sama oleh tentara Tumapel,
yang berperang laksana banjir dari gunung. Sekarang tentara Daha
terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah.
Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit birit meninggalkan
musuh seperti kambing, mencabut semua payung payungnya, tak ada yang
mengadakan perlawanan lagi.
Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari
pertempuran, mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa,
beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat
sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik ke angkasa. Sungguh kalah
Daha oleh Ken Angrok.Dan adik adik Sang Dandhang Gendis, yalah: Dewi
Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang
Gendis kalah berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa, bergantung
gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu menghilang
bersama sama dengan istananya juga.
Sesudah
Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel, dikuasailah
tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja telah berhasil mengalahkan Daha pada
tahun saka : 1144. Lama kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak
tunggal Tunggul Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya.
"Hamba
takut terhadap ayah tuan", demikian kata pengasuh itu: "Lebih baik tuan
berbicara dengan ibu tuan". Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati
bertanya kepada ibunya: "Ibu, hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah
jelasnya ini?" Kalau ayah melihat hamba, berbeda pandangannya dengan
kalau ia melihat anak anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah
itu."
Sungguh
sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: "Rupa rupanya telah
ada rasa tidak percaya, nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu
bernama Tunggul Ametung, pada waktu ia meninggal, saya telah mengandung
tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi.:Kata Nusapati: "Jadi
terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba, lalu bagaimana
tentang meninggalnya ayah itu?" "Sang Amurwabumi buyung yang
membunuhnya." Diamlah Ken Dedes, tampak merasa membuat kesalahan karena
memberi tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Nusapati: "Ibu,
ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba pinta, ibu."
Diberikan
oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang ke tempat
tinggalnya. Adalah seorang hambanya berpangkat pengalasan di Batil,
dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh Ken Angrok, diberi keris
buatan Gandring, agar supaya dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi,
orang di Batil itu disanggupi akan diberi upah oleh
Nusapati.Berangkatlah orang Batil masuk kedalam istana, dijumpai Sang
Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan segera oleh orang Batil.
Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu Landhep, saat ia
sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam, orang telah
menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka
larilah orang Batil, mencari perlindungan pada Sang Anusapati, kata
orang Batil: "Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba." Segera orang Batil
ditusuk oleh Nusapati. Kata orang Tumapel: "Ah, Batara diamuk oleh
pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168,
dicandikan di Kagenengan.
Sesudah
demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia menjadi raja pada
tahun Saka 1170. Lama kelamaan diberitakan kepada Raden Tohjaya, anak
Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan
Anusapati, yang mengupahkan pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang
Batil. Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang kematian ayahnya itu,
meikir mikir mencari cara untuk membalas, agar supaya ia dapat membunuh
Anusapati. Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang direncana oleh Panji
Tohjaya, berhati hatilah Sang Anusapati, tempat tidurnya dikelilingi
kolam, dan pintunya selalu dijaga orang, sentosa dan teratur.
Setelah
lama kemudian Sang Apanji Tohjaya datang menghadap dengan membawa ayam
jantan pada Batara Anuspati. Kata Apanji Tohjaya: "Kakak, ada keris ayah
buatan Gandring, itu hamba pinta dari tuan." Sungguh sudah tiba saat
Batara Anuspati. Diberikan keris buatan Gandring oleh Sang Anusapati,
diterima oleh Apanji Tohjaya, disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya
yang dipakai semula, diberikan kepada hambanya.Kata Apanji Tohjaya:
"Baiklah, kakak mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita
ajukan di gelanggang."Menjawablah Sang Adipati: "Baiklah, adik."
Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam
jantan, kata Anusapati: "Nah, adik mari mari kita sabung segera.",
"Baiklah" kata Apanji Tohjaya.
Mereka bersama sama memasang taji
sendiri – sendiri, telah sebanding, Sang Anusapati asyik sekali. Sungguh
telah datang saat berakhirnya, lupa diri, karena selalu asyik menyabung
ayamnya, ditusuk keris oleh Apanji Tohjaya Sang Anusapati wafat pada
tahun Saka 1171, dicandikan di Kidal.
Pararaton bagian 3
Apanji
Tohjaya menjadi raja di Tumapel. Sang Anusapati mempunyai seorang anak
laki laki bernama Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya
adalah kemenakan. Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya, sama
ayah lain ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa Campaka, hubungan
keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga.
Pada
waktu Apanji Tohjaya duduk diatas tahta, disaksikan oleh orang banyak,
dihadap oleh menteri menteri, semua terutama Pranaraja, Ranggawuni
beserta Kebo Campak juga menghadap.Kata Apanji Tohjaya: "Wahai, menteri
menteri semua, terutama Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar biasa
bagus dan tampan badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar Tumapel ini,
kalau dibandingkan dengan orang dua itu, bagaimanakah mereka, wahai
Pranaraja."
Pranaraja
menjawab sambil menyembah: "Betul tuanku, seperti titah tuanku itu,
bagus rupanya dan sama sama berani mereka berdua, hanya saja tuanku,
mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut tak urung akan
menyebabkan mati akhirnya." Paduka batara itu lalu diam, sembah
Pranaraja makin terasa, Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia memanggil
Lembu Ampal, diberi perintah untuk melenyapkan kedua bangsawan itu.Kata
Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal: "Jika kamu tidak berhasil melenyapkan
dua orang kesatriya itu, kamulah yang akan kulenyapkan."
Pada
waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah kepada Lembu Ampal melenyapkan
dua bangsawan itu, ada seorang brahmana yang sedang melakukan upacara
agama sebagai pendeta istana untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu
mendengar, bahwa kedua bangsawan itu disuruh melenyapkan. Sang Brahmana
menaruh belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu memberi tahu: "Lembu
Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua, kalau tuan kalian
dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan
dilenyapkan oleh Seri Maharaja."Kedua bangsawan itu berkata: "Wahai Dang
Hyang, bukanlah kami tidak berdosa." Sang Brahmana menjawab: "Lebih
baik tuan bersembunyi dahulu."
Karena
masih dibimbangkan, kalau kalau brahmana itu bohong, maka kedua
bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati. Kata bangsawan itu: "Panji
Patipati, kami bersembunyi di dalam rumahmu, kami mengira, bahwa kami
akan dilenyapkan oleh Batara, kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan
itu, kami tidak ada dosa." Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba
mendengar dengarkan: "Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan, Lembu
Ampal lah yang mendapat tugas." Keduanya makin baik cara bersembunyi,
dicari, kedua duanya tak dapat diketemukan. Didengar dengarkan, kemana
gerangan mereka pergi, tak juga dapat terdengar. Maka Lembu Ampal
didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Batara. Sekarang Lembu
Ampal ditindak untuk dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di dalam
rumah tetangga Apanji Patipati.
Lembu
Ampal mendengar, bahwa kedua bangsawan berada di tempat tinggal Apanji
Pati Pati. Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan, kata Lembu Ampal
kepada kedua bangsawan itu: "Hamba berlindung kepada tuan hamba, dosa
hamba: disuruh melenyapkan tuan oleh Batara. Sekarang hamba minta
disumpah, kalau tuan tidak percaya, agar supaya hamba dapat menghamba
paduka tuan dengan tenteram."
Setelah
disumpah dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua bangsawan
itu: "Bagaimanakah akhirnya tuan, tak ada habis habisnya terus menerus
bersembunyi ini, sebaiknya hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti kalau
mereka sedang pergi kesungai." Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk orang
Rajasa, ketika orang berteriak, ia lari kepada orang Sinelir.Kata orang
Rajasa: "Orang Sinelir menusuk orang Rajasa. Kata orang Sinelir: "Orang
Rajasa menusuk orang Sinelir." Akhirnya orang orang Rajasa dan orang
orang Sinelir itu berkelahi, bunuh membunuh sangat ramainya, dipisah
orang dari istana, tidak mau memperhatikan. Apanji Tohjaya marah, dari
kedua golongan ada yang dihukum mati.
Lembu
Ampal mendengar, bahwa dari kedua belah pihak ada yang dilenyapkan,
maka Lembu Ampal pergi ke Orang Rajasa. Kata Lembu Ampal: "Kalau kamu
ada yang akan dilenyapkan hendaknyalah kamu mengungsi kepada kedua
bangsawan, karena kedua bangsawan itu masih ada." Orang orang Rajasa
menyatakan kesanggupannya: "Nah, bawalah kami hamba hamba ini
menghadapnya, wahai Lembu Ampal."
Maka
ketua orang Rajasa dibawa menghadap kepada kedua bangsawan.Kata orang
Rajasa itu: "Tuanku, hendaknyalah tuan lindungi hamba hamba Rajasa ini,
apa saja yang menjadi tuan titah, hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau
kalau tidak sungguh sungguh kami menghamba ini, kalau tidak jujur
penghambaan kami ini." Demikian pula orang Sinelir, dipanggilah
ketuanya, sama kesanggupannya dengan orang Rajasa, selanjutnya kedua
belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah semua, lalu dipesan:
"Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah temanmu masing
masing, hendaknyalah kamu memberontak meluka lukai di dalam istana."
Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama memohon diri.
Setelah
sore hari orang orang dari kedua belah pihak datang membawa teman
temannya, bersama sama menghadap kepada kedua bangsawan, mereka keduanya
saling mengucap selamat datang, lalu berangkat menyerbu kedalam istana.
Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, sekali gus kena
tombak. Sesudah huru hara berhenti, ia dicari oleh hamba hambanya,
diusung dan dibawa lari ke Katanglumbang. Orang yang mengusung lepas
cawatnya, tampak belakangnya. Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang
memikul itu: "Perbaikilah cawatmu, karena tampak belakangmu." Adapun
sebabnya ia tidak lama menjadi raja itu, karena pantat itu. Setelah
datang di Lumbangkatang, wafatlah ia, lalu dicandikan di Katanglumbang,
ia wafat pada tahun Saka 1172.
Pararaton bagian 4
Kemudian
Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan
seperti dua ular naga didalam satu liang. Ranggawuni bernama nobatan
Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi
Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah
mereka, tak pernah berpisah. Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di
Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang
Mahibit, untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati.
Adapun
sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama Mahisa
Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada
tahun 1194, dicandikan di Jajagu. Mahisa Campaka wafat, dicandikan di
Kumeper, sebagian abunya dicandikan di Wudi Kuncir.
Pararaton bagian 5
Sri
Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama Sri
Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga,
bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara
Siwabuda. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka,
bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak
dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat
tinggal di Madura sebelah timur.
Ada
Patihnya, pada waktu ia baru saja naik keatas tahta kerajaan, bernama
Mpu Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia
tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu
meletakkan jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang
Apanji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel. Sri
Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama
Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba
rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu.
Apanji
Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di
Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja
Kertanegara bersenang senang. Ada perselisihannya dengan raja Jaya
Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh raja Kertanegara, karena lengah
terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu,
ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur 40 tahun pada
peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya Katong,
Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura, mengadakan
hubungan dan berkirim utusan.
Demikian
juga raja Jaya Katong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim
surat kepada raja Jaya Katong, bunyi surat: "Tuanku, patik baginda
bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di
tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu,
ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada
harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak
bergigi."Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi,
karena sudah tua.
Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang
Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari
orang orang yang tidak baik, bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah
daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita
luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman keras, diberi tahu bahwa
diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata:
"Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap kami, bukanlah ia
telah baik dengan kami."
Setelah
orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya.Sekarang Raden
Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah
utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga
Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama
Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha di
bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya.
Kemudian
turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai
Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh,
tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana
langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha
sebelah selatan ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot dan
Bowong. Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman keras bersama sama
dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur, Kebo
Tengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur.
Pararaton bagian 6
Raden
Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa Batara
Siwa Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga
telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali,
beserta hamba hambanya, berlari lari ke Tumapel, melakukan pembalasan,
tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo Mundarang,
Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud Kebo
Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah
bekas di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai mulanya penuh lumpur, ia
mundur sambil berkata: "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini."
Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah,
diberikan kepada hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai,
ia bertekad untuk mengamuk.
Yang
mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah
Sora, segera menyerang, banyak orang Daha yang mati.Kata Sora: "Sekarang
ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan
saatnya." Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha
yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada
waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden
Wijaya, sekarang orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh
tombak temannya sendiri, repotlah orang prang Daha itu larinya. Batara
Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan
dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu, kedua
duanya ditawan oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan puteri
yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan
orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu.
Pada
waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden
Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas
lekaslah diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata: "Nah, Sora, marilah
mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora
berkata: "Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan
temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini." Jawab Raden
Wijaya: "Justru karena itu." Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku
mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil itu
baik, kalau adik tuanku yang muda dapat ditemukan, kalau tidak dapat
ditemukan, kita akan seperti anai anai menyentuh pelita." Sekarang
mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman mereka
berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar
disebelah selatan Talaga Pager. Orang orangnya ganti berganti tinggal
dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang Daha.
Gajah
Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan.Kata
Raden Wijaya: "Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau tidak
dapat, mari kita bersama sama mengamuk." "masih dapatlah hamba, tuanku,
hanya saja hendaknya perlahan lahan." Orang orang Daha tidak begitu giat
mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga Pager. Raden Wijaya
masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba hambanya
yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri bangsawan.
Akhirnya
hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden
Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata:
"Tuanku, sembah hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku
yang masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu, pendapat
hamba semua,
lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur, hendaknyalah
tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat
dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia
dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi
lantarannya."
Kata
Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya
akan sangat malu." Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan
suara bersama: "Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku."
Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar
dari dalam hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di
Pandakan, bernama Macankuping. Raden Wijaya minta diberi kelapa muda,
setelah diberi, diminum airnya, ketika dibelah, ternyata berisi nasi
putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum
pernah ada kelapa muda berisi nasi." Gajah Pagon tak dapat berjalan
lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tua di Pandakan, saya menitipkan satu
orang, Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di
tempatmu." Kata orang Pandakan: " Aduh, tuanku. itu akan tidak baik
kalau sampai terjadi Gajah Pagon didapati disini, mustahil akan ada
hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak hamba, biarlah ia berada di
dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di
tengah tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi,
tad ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan
memberi makan tiap tiap hari."
Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden
Wijaya selanjutnya menuju ke Datar, pada waktu malam hari. Sesampainya
di Datar, lalu naik perahu.Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang
muda masih terus ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan kepada raja
Jaya Katong.Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat. Raden
Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb,
bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat,
pematangnya tipis.Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri
bangsawan itu duduk diatasnya. Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke
Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai panjang. hamba hamba
disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba
hambanya. Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang
dihadap. Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap,
terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk
kedalam rumah, bubarlah yang menghadap.
Terhenti hati Raden
Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: "nah, apakah kataku, saya
sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu."
Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap,
berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama
membawa sirih dan pinang. Kata Ranggalawe: "Nah, tuanku, bukankah itu
Wiraraja yang datang menghadap kemari." Maka senanglah hati Raden
Wijaya. Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya.
Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang
puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki,
mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur.
Raden Wijaya dihadap
didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat
bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu
meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: "Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan."
Raden Wijaya menjawab: "Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada
belas kasihanmu." Sembah Wiraraja: "Janganlah tuanku khawatir, hanya
saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan." Selanjutnya Wiraraja
mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa oleh isteri
isterinya, terutama isteri pertamanya. Kata Raden: "Bapa Wiraraja,
sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi
menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya,
saya seperdua." Kata Wiraraja: "bagaimana saja, tuanku, asal tuanku
dapat menjadi raja saja."
Demikianlah
janji Raden Wijaya kepada Wiraraja Luar biasa pelayanan Wiraraja
terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan makanan, tak usah
dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras. Lamalah Raden Wijaya
bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata: "Tuanku
hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja
Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata
yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak
berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah
bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah
tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah
tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan menebang hutan
untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang menghadap tuanku
dekat. Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat
melihat lihat orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang
berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan
ketahui sifat sifat Kebo Mundarang,
sesudah
itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke
hutan orang Terik yang sudah dirubah menjadi desa oleh hamba hamba
Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: "Jika ada hamba hamba tuanku
yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada tuan,
hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika
mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan
lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh
tuanku.
Sekarang
hamba akan berkirim surat kepada raja Jaya Katong."Berangkatlah orang
yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan, menghadap raja
Jaya Katong, mempersembahkan surat itu. Adapun bunyi surat: "Tuanku,
patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda mohon ampun, ingin
takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda maklum,
terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka
tuan." Kata Raja Jaya Katong: "Mengapa kami tidak senang, kalau buyung
Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami." Selanjutnya disuruh kembalilah
utusan itu untuk menyampaikan kata katanya.
Setelah
utusan datang lalu menyampaikan perintah. Surat telah dibaca dimuka
Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja. Wiraraja senang.Segera Raden
Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan
oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan kembali di
Terung. Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja
Jaya Katong, sangat dicintai. Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat
pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja untuk
mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha sangat
heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe,
Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan
di Manguntur negara Daha. Bergantilah menteri menteri Daha lari,
diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh
dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya
dengan Rangga Lawe dan Sora. Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan
pertandingan tusuk menusuk, "Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu
ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat, menteri menteri kamilah
yang akan menjadi lawanmu." Jawab Raden Wijaya: "Baiklah tuanku."
Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian,
orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong
sering kali terpaksa lari.
Kata
raja Jaya Katong: "Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta,
siapakah yang berani melawan tuannya." Raden Wijaya berhenti, kini
sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora
menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi
menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu
menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan,
lalu bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri
menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya. Lalu ia berkirim surat
kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden
Wijaya memohon hutan orang Terik. Raja Jaya Katong memperkenankan.
Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik. Ketika desa
sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena
kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa
pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada
buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit.
Raden
Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa
desa. Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha,
beristirahat di Majapahit. Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya,
bagaimana caranya memohon diri kepada raja Jaya Katong. Sekarang Raden
Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit Raja Jaya Katong
memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena kepandaian Raden
Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh. Setelah Raden Wijaya
pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Wiraraja, bahwa menteri
menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan oleh hamba hambanya semua.
Raden
Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata
kepada utusannya: "Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi,
hendaknyalah kamu wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini
berteman dengan raja Tatar, itu akan kutawari puteri bangsawan,
hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang. Sepergimu saya
akan berkirim surat ke Tatar. Ada perahuku, itu akan saya suruh ikut
serta ke Tatar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang Daha.
Jika
raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai,
itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu penipuanku
terhadap raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang
Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan
Daha." Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi
tahu semua pesan Wiraraja itu.
Sesudah
utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja pindah
ke Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah semua
orang Madura yang baik dibawa beserta senjatanya.
Setelah
utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha. Tentara Tatar keluar
dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur, Raja
Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga. Kemudian diserang
dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar. Kebo Mundarang, Panglet dan
Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur. Panglet mati oleh Sora, Kebo
rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe,
terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah Trinipati,
akhirnya mati oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga
Lawe: "Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan,
hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora sebagai anugerah atas
keberaniannya."
Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara,
bersenjatakan perisai, diserang bersama sama oleh orang orang Tatar,
akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar. Raden Wijaya lekas
lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan puteri bangsawan yang
muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di Majapahit orang orang
Tatar datang untuk meminta puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja
telah menyanggupkan itu, jika Daha telah kalah, akan memberikan dua
orang puteri bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua duanya semua.
Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain, Sora
berkata: "Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar
datang kemari." Arya Wiraraja menjawab: "Sesungguhnya, wahai buyung
Sora, masih ada muslihatku lagi."maka dicari dicarilah kesanggupan
kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri menteri.
Sora
menyatakan kesanggupannya: " Tak seberapa kalau saya mengamuk orang
orang Tatar." Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke
barat, orang orang Tatar datang meminta puteri puteri bangsawan.
Wiraraja menjawab: "Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu
kalian tergesa gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah
cemas melihat tentara tentara pada waktu Tumapel kalah, lebih lebih
ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang serba tajam. Besok
pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak,
diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya
mereka ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang
barang yang tajam, dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu,
hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek, tetapi orang orang yang
bagus jangan membawa teman,
karena janji puteri puteri bangsawan itu,
kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba
diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia
saja, bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri
puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air." Percayalah
orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: "Sangat betul
perkataan tuan."
Sesudah
datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu, orang
orang Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri bangsawan,
semua tak ada yang membawa senjata tajam. Setelah mereka masuk kedalam
pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu ditutupi pintu, dikunci dari
luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan keris pada pahanya.
Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua.
Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat
orang menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari,
kemuara Canggu, diikuti dan dibunuh.
Kira
kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang dari
Malayu, mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden
Wijaya, yalah yang bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama
Dara Jingga, kawin dengan seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki
laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama nobatannya: Sri
Warmadewa alias Raja Mantrolot Peristiwa Malayu dan Tumapel itu
bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau
1197. Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka:
Ular Muka Dara Tunggal atau 1198 Setelah Raka Katong datang di Junggaluh
ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia wafat.
Pararaton bagian 7
Sekarang
Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua Bulan atau
1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara Pethak,
nama kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak perempuan
Batara Siwa Buda, yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar, keduanya
itu juga dikawin oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di Kahuripan,
yang muda menjadi ratu di Daha. Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu
menjadi raja: Sri Kertarajasa. Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat
penyakit bisul berbengkak. Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.
Pararaton bagian 8
Raden
Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya: Batara
Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi: Purwa
Patapan. Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa
Ranggalawe. Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah
sebabnya maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban, dan mengadakan
perserikatan dengan kawan kawannya. Telah terjadi orang orang Tuban di
gunung sebelah utara dimasukkan didalam perserikatannya , mereka itu
semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe. Nama orang orang yang
menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra
Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman
Ranggalawe pada waktu berontak. Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit
itu, merebut kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata
kata Ranggalawe: "Jangan banyak bicara, didalam kitab Partayadnya ada
tempat untuk penakut penakut."
Setelah
terdengar, bahwa Ranggalawe berontak, Mahapatih-lah yang memberi
memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman teman
Ranggalawe didalam pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih
hidup, karena ia disuruh berbalik hati.Peristiwa Ranggalawe itu pada
tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau 1217.
Wiraraja
memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya tiga
daerah juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau
Jawa, dan akan menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan
dan utara beserta daerah tiga juru Telah lama itu dinikmati oleh
Wiraraja, Nambi masih menjadi patih, Sora menjadi Demung dan Tipar
menjadi Tumenggung. Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada
Demung.
Wiraraja
tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah berselat
tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa Sora.
Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh
oleh Kebo Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222.Juga
Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan,
pada waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk
meninjau Wiraraja yang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin,
hanya saja tidak diperkenankan pergi lama lama. Nambi tak datang
kembali, menetap di Lembah, mendirikan benteng, menyiapkan tentara.
Wiraraja meninggal dunia. Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun
Ada
peristiwa gunung meletus, yalah gunung Lungge pada tahun saka: Api Api
Tangan Satu atau : 1233. Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung,
berselat dua tahun dengan peristiwa Sora. Juru Demung mati pada tahun
saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau: 1235. Lalu terjadi peristiwa
Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang atau: 1236.
Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri
untuk melenyapkan orang orang Mandana. Sesudah itu ia pergi ke timur
untuk melenyapkan Nambi.
Nambi
diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih
pengasuh, Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri pemberani semua sudah
mati, gugur di medan perang. Nambi berkata: "Kakak Samara, Ki Derpana,
Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, jika
dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak akan kalah,
apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras
orang orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal
Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan
dibelakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat." Setelah orang
orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka Ganding rusak,
piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak, Derpana,
Samara, Wirot Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia
mengadakan serangan pertama tama. seakan akan tercabutlah orang orang
Majapahit, tak ada yang mengadakan perlawanan.
Jabung
Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama menyerang
Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang menyerang tadi
gugur semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang
disebelah timur itu mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang kalah
pada tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau: 1238. Peristiwa Wagal dan
Mandana itu bersamaan waktunya. Berselat dua tahun Peristiwa Wagal
dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia mati dibawah pohon kapuk, pada
tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240.
Sesudah
itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja, mereka
ini dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja,
banyaknya tujuh orang, bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra
Tanca dan Ra Banyak. Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh
Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap,
dan dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya akan pergi sendiri ke
Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu, hanya orang
orang Bayangkara mengiringkannya,
semua yang kebetulan mendapat
giliran menjaga pada waktu raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada
waktu itu Gajah Mada menjadi Kepala Bayangkara dan kebetulan juga sedang
menerima giliran menjaga, itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu
raja pergi dengan menyamar itu. Lamalah raja tinggal di Bedander.
Adalah
seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak
diperbolehkan oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja
hanya sedikit, ia memaksa akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada,
maksud ia menusuk itu, yalah: "jangan jangan ia nanti memberi tahu,
bahwa raja bertempat tinggal dirumah kepala desa Bedander, sehingga Ra
Kuti, sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya. Kira kira lima hari
kemudiannya Gajah Mada memohon ijin untuk pergi ke Majapahit.
Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca Negara
tentang tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman
teman Kuti.Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada
berkata: "Janganlah menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba
kepada Ra Kuti." Menjawablah yang diajak berbicara itu: "Apakah kata
tuan itu, Ra Kuti bukan tuan kami."
Akhirnya
Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah Mada lalu
mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua sanggup
membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh.Raja pulang dari Bedander,
kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal
pada waktu itu. Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi
Kepala orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia mendapat cuti
dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah menjadi Patih di Kahuripan, dua
tahun lamanya menjadi patih itu. Sang Arya Tilam, patih di Daha
meninggal dunia, Gajah Mada menggantinya, ditempatkan menjadi patih di
Daha, patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui, ialah yang menyokong
Gajah Mada menjadi patih di Daha itu. Raja Jayanagara mempunyai dua
orang saudara perempuan, lain ibu, mereka tak diperbolehkan kawin dengan
orang lain, akan diambil sendiri. Pada waktu itu tak ada kesatriya di
Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu dilenyapkan, jangan
jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya
kesatriya bersembunyi tidak keluar. Isteri Tanca menyiarkan berita,
bahwa ia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca dituntut oleh Gajah
Mada. Kebetulan raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi
keluar, Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji,
ia menghadap didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji
sekali dua kali, tidak makan tajinya, lalu raja diminta agar supaya
meletakkan jimatnya, ia meletakkan jimatnya didekat tempat tidur,
ditusuk oleh Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk oleh Tanca,
sehingga mati ditempat tidur itu.
Tanca
segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca. Berselat sembilan
tahunlah peristiwa Kuti dan peristiwa Tanca itu, pada tahun saka: Abu
Unsur memukul Raja atau: 1250. Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi
candi itu: Srenggapura, arcanya di Antawulan. Pada waktu itu para
kesatriya menginjakkan kaki di Majapahit lagi. Raden Cakradara dipilih
pada sayembara menjadi suami seri ratu di Kahuripan. Raden Kuda Merta
kawin dengan seri ratu di Daha. Raden Kuda Merta menjadi raja di
Wengker, Sri Paduka Prameswara di Pamotan, nama nobatannya: Sri
Wijayarajasa. Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di Tumapel, nama
nobatannya Sri Kertawardana.
Pararaton bagian 9
Sri
Ratu di kahuripan menjadi raja pada tahun saka: Sunyi Keinginan Sayap
Bumi, atau: 1250. Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga orang anak,
yalah: Batara Prabu, panggilannya Seri Hayam Wuruk, Raden tetep,
sebutannya jika ia bermain kedok: Dalang Tritaraju, jika ia bermain
wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di kalangan pemeluk agama Siwa: Mpu
Janeswara, nama nobatannya Seri Rajasa Nagara, sebagai Prabu: Seri
Baginda Sang Hyang Wekasing Suka. Adiknya perempuan kawin dengan raden
Larang, yang juga disebut Baginda di Matahun, tidak mempunyai anak,
adiknya yang bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin dengan Raden
Sumana, yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini adalah saudara sepupu
Seri Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di Gundal, dicandikan di
Sajabung,nama resmi candi itu: Bajra Jina Parimita Pura.
Selanjutnya
terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita
sakit, sering sekonyong konyong tak berkuasa menghadap, memajukan
permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan berhenti, tidak
dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali pulang,
memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada
diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat
Mangkubumi: "Saya akan membantu didalam soal soal yang luar biasa,"
Gajah Mada berkata: " Anaknda tidak sanggup jika menjadi patih sekarang
ini, jika sudah kembali dari Sadeng, hamba mau menjadi patih, itupun
jika tuan suka memaafkan segala kekurangan kemampuan anaknda ini." "Nah,
buyung, saya akan membantu didalam segala kesukaran, dan didalam soal
soal yang luar biasa."
Sekarang besarlah hati Gajah Mada,
mendengar kesanggupan sang Arya Tadah itu. kini ia berangkat ke Sadeng.
Para menteri araraman dibohongi, juga patih Mangkubumi juga kena tipu,
bahwasanya Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng. Mangkubumi marah,
memberi perintah kepada menteri luar, banyak mereka yang berangkat lima
satuan, dikepalai oleh bekel, masing masing satuan terdiri dari lima
orang. Kembar dijumpai didalam hutan, mereka berdiri diatas pohon yang
roboh, berayun ayun seperti orang naik kuda sambil melambai lambaikan
cambuk kepada mereka yang menyuruh agar Kembar kembali dan tidak
melanjutkan perjalanan.
Disampaikanlah
pesan dari para menteri semua, terutama juga dari gusti patih
Mangkubumi, menyuruh agar Kembar kembali, karena dikhabarkan mendahului
mengepung orang orang Sadeng. Dicambuklah muka orang yang menyuruh
kembali, tidak kena karena berlindung dibalik pohon, Kembar lalu
berkata: "Tidak ada orang yang diindahkan oleh Kembar ini, didalam
perang saja tidak mau mengindahkan tuanmu itu." Pergilah yang mendapat
perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua yang
dikatakan oleh Kembar.
Gajah
Mada diam, merasa sangat diperolok olok, orang orang Sadeng dikepung,
Tuhan Waruju seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, jikalau membunyikan
cambuk, terdengar di ruang angkasa, terperanjat orang Majapahit.Segera
Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan Sadeng.Peristiwa Tanca dan Sadeng
itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur Lihat Daging,
atau: 1256. Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel
araman, Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang,
Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi
Tumenggung. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau mengambil
istirahat, Gajah Mada berkata: "Jika pulau pulau diluar Majapahit sudah
kalah, saya akan istirahat, nanti kalau sudah kalah Gurun, Seran,
Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
barulah saya menikmati masa istirahat." Pada waktu itu para menteri
sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar memperolok
olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan kekurangan
kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta menambah
mengemukakan celaan celaan. Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu
Gajah Mada turun mengadukan soal itu kehadapan batara di Koripan,
baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya
Tadah.Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada
Kembar, mereka mati semua.
Pararaton bagian 10
Selanjutnya
terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat. Seri Baginda Prabu
mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan
permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan
pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang
Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya. Orang Sunda
bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena
Patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan
resmi, kehendaknya yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan.
Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda.
Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: "jangan khawatir, kakak
Baginda, sayalah yang akan melawan berperang." Gajah Mada memberitahu
tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung
orang Sunda.
Orang
Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh
bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di
Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya. Kesanggupan
bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak
Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong,
Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus,
Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring,
Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak. Bercampur dengan
bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh.
Sang
Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan
Usus. Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa
orang orang Sunda masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan,
mereka yang terkemuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak. Adapun yang
mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong,
Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua
menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda,
lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah
Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah
seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak
ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau:
1279.
Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo.
Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi
Mangkubumi. Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka Batara Prabu
lalu kawin dengan anak perempuan Baginda Prameswara, yalah: Paduka Sori,
dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan, yalah Seri Ratu di
Lasem Sang Ayu, dari perkawinannya dengan isteri lain, lahirlah baginda
di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Seri Ratu di Daha. Seri
ratu di Pajang mempunyai tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa,
nama kesatriyannya Raden Gagak Sali, namanya sebagai Raja Aji Wikrama,
kawin dengan Seri Ratu di Lasem yalah: Sang Ayu, lalu mempunyai seorang
anak, yalah: Seri Baginda Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan,
yalah: Seri Ratu di Lasem Sang Alemu, kawin dengan baginda di Wirabumi,
adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi Seri ratu di Kahuripan.
Ada
lagi anak Baginda di Tumapel, nama kesatriyannya Raden Sotor, menjadi
hino di Koripan, lalu pindah menjadi hino di Daha, selanjutnya menjadi
hino di Majapahit, ini mempunyai seorang anak laki laki, yalah: Raden
Sumirat, kawin dengan Seri Ratu di Kahuripan dan menjadi raja dengan
sebutan Baginda di Pandan Salas. Lalu terjadi peristiwa upacara
selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada Agung, pada tahun saka:
Empat Ular Dua Tunggal, atau: 1284.
Sang Patih Gajah Mada wafat pada
tahun saka: Langit Muka Mata Bulan, atau 1290, tiga tahun lamanya tak
ada yang mengganti menjadi patih. Gajah Enggon menjadi patih pada tahun
saka: Sifat Sembilan Sayap Orang, atau: 1293. Seri Ratu di Daha wafat,
dicandikan di Adilangu, nama resmi candi itu Gunung Purwawisesa. Seri
Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di Panggih, nama resmi candinya
Gunung Pantarapura.
Selanjutnya
terjadi peristiwa gunung baru pada tahun saka: Ular Liang Telinga
Orang, atau: 1208. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada minggu
Madasia, tahun saka: Pendeta Sunyi Sifat Tunggal, atau: 1307. Baginda di
Tumapel wafat, ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka: Gajah Sunyi
Tindakan Ekor, atau" 1308, dicandikan di Japan, nama resmi candi itu
Sarwa Jaya Purwa. Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak,
1. Seri Baginda di Tumapel
2. Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri, yang lalu mempunyai nama nobatan: Dewi Suhita
3. Bungsu laki laki, yalah: Baginda di Tumapel alias Sri Kerta RajasaBaginda di Pandan Salas mempunyai anak
·
Baginda di Koripan, alias Baginda Hyang Prameswara, nama nobatannya Aji
Ratna Pangkaja, kawin dengan Seri ratu Prabu-stri, tidak berputera
· Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram, yang kawin dengan Baginda Hyang Wisesa
· Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang kawin dengan Baginda di Tumapel
· Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun
Baginda
di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin
dengan Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak
ketiga lahir dari isteri muda, perempuan, yalah: Seri Ratu di Jagaraga,
kawin dengan Baginda Parameswara, tidak beranak, anak kelima, yalah:
Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh
sama sama saudara, tidak mempunyai anak.
Baginda
di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar.Anak laki laki
Baginda di Wengker, yalah Baginda di Kabalan.Baginda di Paguhan
mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan
yalah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas.
Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada tahun saka: Langit Rupa
Menggigit Bulan, atau: 1310, ia dicandikan di Manyar, nama resmi
candinya Wisnu Bawana Pura.
Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di
Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura. Paduka Sori wafat. Sang
ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra
Pura. Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi
Parwa Tiga Pura.Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka:
Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311.
Pararaton bagian 11
Baginda
Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja. Lalu terjadi peristiwa gunung
meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka: Muka Orang Tindakan
Ular, atau : 1317. Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun
saka: Sunyi Sayap Tindakan Orang, atau: 1320. ia menjadi patih 27 tahun
lamanya. Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi
patih. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat di Indra Bawana, pada
tahun saka: Orang Mata Api Bulan, atau 1321, dicandikan di Tanjung,
nama resmi candi Parama Suka Pura. Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta
pada tahun saka: Mata Sayap api Bulan, atau: 1322.
Pararaton bagian 12
Seri
Ratu Batara Isteri dinobatkan menjadi Raja.Sang ratu di Lasem wafat di
Kawidyadaren, dicandikan di Pabangan, nama resmi candi: Laksmi Pura.Sang
Ratu di Kahuripan wafat. Sang Ratu di Lasem yalah Sang ratu Gemuk
wafat. Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di Jinggan, nama resmi
candi Sri Wisnu Pura. Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan Baginda
Wirabumi, mereka segan bersama sama berbicara, saling diam mendiamkan,
akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada tahun saka 1323.
Tiga
tahun kemudian lalu terjadi lagi huru hara. Kedua duanya mengumpulkan
orang orangnya, Baginda di Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta
datang. "Siapakah yang harus kami ikuti." maka terjadilah perang malang.
Ia masgul dan bertekad akan pergi. Baginda "jangan tergesa gesa pergi,
sayalah yang akan melawan." Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan
orang orangnya lagi, dihulubalangi oleh Baginda di Tumapel. di daha
diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa keatas perahu, dikejar oleh
Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan Ratu Angabaya, baginda Narapati.
Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal kepalanya, dibawa ke
Majapahit, dicandikan di Lung, nama resmi candinya Gorisa, pada tahun
saka: Ular Sifat Menggigit Bulan, atau: 1328, pada tahun itu terjadi
huru hara ini. Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri meninggal dunia
pada tahun saka: Sayap Sifat Tindakan Orang, atau : 1332.
Gajah
Lembaga menjadi patih, lamanya 12 tahun. Selanjutnya terjadi peristiwa
gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun saka: Tindakan
Kitab Suci Sifat Orang, atau: 1343 Gajah Lembana meninggal dunia pada
tahun saka:
Api Api Tindakan Bumi, atau: 1335.
Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun. Seri Ratu di Daha wafat,
Seri Ratu di Matahun wafat, Seri Ratu di Mataram wafat. Selanjutnya
terjadi masa kekurangan makan yang sangat lama pada tahun saka: Ular
Jaman Menggigit Orang, atau : 1348. Baginda di Tumapel wafat pada tahun
saka: Sembilan Jaman Tindakan Orang, atau: 1349, dicandikan di Lokerep,
nama candinya Asmarasaba. Baginda di Wengker wafat, dicandikan di
Sumengka.
Pararaton bagian 13
Tuhan
Kanaka meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Luka Sifat Orang, atau :
1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih. Seri ratu di Lasem wafat
di Jinggan. Baginda di Pandan Salas wafat. Raden Jagulu, Raden Gajah
dilenyapkan, karena dianggap melakukan dosa, yalah: memenggal kepala
Baginda di Wirabumi, pada tahun saka: Unsur Memanah Telur Tunggal, atau:
1355. Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun saka: Sembilan lima api
bulan, atau 1359. Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu Bawana,
pada tahun saka: Ular Golongan Api Bulan, atau tahun: 1359, dicandikan
di Singajaya. Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa. Seri Ratu
Prabu-stri wafat pada tahun saka: Sembilan Rasa Api Bulan, atau: 1369,
dicandikan di Singajaya.
Pararaton bagian 14
Lalu
Baginda Tumapel mengganti menjadi raja. Baginda di Paguhan melenyapkan
orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu
terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan,
atau: 1372. Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di
Sabyantara. Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri. Baginda di Jagaraga
wafat. Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat,
dicandikan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus
didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan,
atau: 1373
Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.
Pararaton bagian 15
Baginda
di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan,
nama nobatannya Sri Rajasawardana. Sang Sinagara, dicandikan di Sepang
pada tahun saka: Keinginan Kuda menggigit Orang, atau: 1375.
Pararaton bagian 16
Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
Pararaton bagian 17
Lalu
Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa
Wisesa, pada tahun saka: Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan, atau: 1378.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun
saka: Empat Ular Tiga Pohon, atau: 1384. Baginda di Daha wafat pada
tahun saka: Golongan Pendeta Api Tunggal, atau: 1386. Baginda Hyang
Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: Pendeta Ular
Api Bulan, atau: 1388. Lalu Baginda di Jagaraga wafat.
Pararaton bagian 18
Baginda
di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu
pada tahun saka: Pendeta Ular Tindakan Tunggal, atau: 1388.Ia menjadi
Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana.Anak anak sang
Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di
Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman
baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman
Orang, atau: 1400.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka: Tindakan Angkasa Laut Ekor, atau: 1403.
Demikian
itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa
Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau:
1535.Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal
dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua. Semoga ini diterima baik oleh
yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya,
sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang
ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baharu saja
belajar.Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya,
demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini.